Mari Bicara Untuk Indonesia

Miris, satu kata ini yang muncul pertama kali dalam benak saya ketika melihat kolom komentar di postingan media sosial Komisi Pemilihan Umum...


Miris, satu kata ini yang muncul pertama kali dalam benak saya ketika melihat kolom komentar di postingan media sosial Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait proses rekrutmen Panitia Pemilihan Kecamatan atau PPK. Meskipun diberi label "Seleksi Terbuka" banyak dari warganet malah melontarkan satire atau sindiran pada proses perekrutan Badan Adhoc untuk Pilkada ini. Banyak dari mereka mengindikasikan jika KPU tingkat daerah tidak profesional dalam menjalankan tugasnya. Tidak sedikit juga dari mereka menguatkan argumen yang disampikan dengan didasarkan pada pengalaman-pengalaman yang mereka alami sebelumnya.


Komentar Warganet di akun media sosial KPU


Munculnya kekhawatiran ini menjadi wajar adanya, terlebih bagi mereka yang sebelumnya telah belajar dari pengalaman dengan mengamati konsekuensi pada diri sendiri maupun orang lain. Atau dengan kata lain jika seseorang pernah dirugikan pada masa lalu, hal tersebut dapat membuat seseorang itu belajar bahwa kepercayaan penuh bisa saja malah menimbulkan konsekuensi yang buruk. Akibatnya, mereka menjadi lebih curiga terhadap suatu hal tertentu.


Proses rekrutmen penyelenggara pemilu sendiri sejak lama memang selalu menarik atensi masyarakat, selain karena dianggap sebagai pekerjaan yang cukup bergengsi dan memberikan gaji yang memadai. Adanya masalah terkait keterbatasan lapangan perkerjaan pun membuat rekrutmen penyelenggara pemilu ini menjadi secercah harapan yang sangat dinantikan oleh sebagian orang. Terutama bagi mereka yang sedang mencari pekerjaan atau bagi mereka yang terbatas syarat latar belakang pendidikan ataupun usia dibidang pekerjaan lain. Karena dalam aturan Pemilu, syarat menjadi Anggota Badan Adhoc PPK atau PPS tidak lah begitu sulit, contohnya berusia paling rendah 17 tahun (batas usia maksimal dibuat tentatif, biasanya 55 tahun atau lebih) dan berpendidikan paling rendah Sekolah Menengah Atas atau sederajat. Adapun syarat lainnya hanya menjadi syarat normatif yang bisa dipenuhi oleh mereka yang berniat mendaftar.


Namun, dalam praktiknya proses rekrutmen Badan Adhoc yang meliputi PPK, PPS, KPPS, KPPS LN, PPLN, Pantarlih, Pantarlih LN dan Petugas Ketertiban TPS ini kerap diwarnai kontroversi karena dianggap tidak transparan dan rawan praktik kolusi serta nepotisme. Seperti kecurigaan yang dialamatkan warganet dalam kolom komentar media sosial KPU. Menurut mereka kebanyakan orang yang terpilih menjadi anggota PPK adalah orang-orang yang sudah pernah menduduki posisi tersebut sebelumnya, atau ada juga yang menyebut sebagai "langganan tetap". Selain itu adanya kecurigaan pada "orang-orang titipan" yang terkoneksi dengan individu atau kelompok tertentu pun menjadi isu yang muncul ke permukaan. Hal ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi KPU-RI untuk mengawasi proses rekrutmen Badan Adhoc ditingkat daerah agar dilakukan dengan mengedepankan nilai-nilai integritas dalam arti yang sesungguhnya.


Ketersediaan penyelenggara pemilu yang memiliki pengalaman memang diperlukan agar dapat memastikan tahapan pemilu diselenggarakan secara baik dan efisien. Namun dalam proses pembentukannya tersebut harus juga mengedepankan prinsip independensi dan imparsialitas. Mengingat proses rekrutmen penyelenggara pemilu sendiri merupakan salah satu faktor penting dalam menjamin penyelenggaraan pemilu yang bebas, jujur, adil, dan kredibel. Proses rekrutmen yang ketat dan berbasis pada kriteria yang jelas dapat membantu memilih penyelenggara pemilu yang memiliki keterampilan, pengetahuan, dan integritas yang diperlukan. (Bland, Green, & Moore, 2013).


Adanya proses, syarat atau aturan yang abu-abu pun seharusnya menjadi fokus perbaikan agar kepercayaan publik kepada KPU bisa pulih meskipun secara bertahap. Sebagai contoh dalam hal ujian wawancara yang selalu jadi benang merah dari kecurigaan-kecurigaan yang timbul. Masalah ujian wawancara ini harus segera dievaluasi dengan baik mengingat proses ini sulit dilepaskan dari penilaian subjektif yang bias atau tidak adil. Tak sedikit yang menilai jika proses wawancara sarat dengan kepentingan yang membuka celah bagi orang-orang tertentu untuk masuk meskipun tidak memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan. Adanya kepercayaan publik terhadap seluruh tahapan pemilu sangat penting untuk menjamin legitimasi hasil pemilu dan mencegah konflik sosial. Proses rekrutmen penyelenggara pemilu yang transparan dan akuntabel dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap integritas dan independensi penyelenggara pemilu. (Hartlyn, McCoy, & Mustillo, 2008).


Pandangan minor dan makin menurunnya kepercayaan masyarakat, terutama akibat drama Pemilu yang sebelumnya terjadi, harusnya bisa menjadi tamparan keras yang menyadarkan KPU. Pun begitu dalam kaitannya dengan proses perekrutan PPK, penting kiranya KPU untuk memulihkan kepercayaan publik dengan menunjukan transparansi dalam setiap proses yang dilaksanakan. Buktikan jika seluruh tahapan rekrutmen yang dilabeli "Seleksi Terbuka" ini berlangsung sebagaimana mestinya, tidak dipengaruhi oleh faktor kedekatan atau adanya rekomendasi-rekomendasi dari pihak tertentu, terutama dalam proses ujian wawancara. Misalnya, jangan mendahulukan orang-orang yang direkomendasikan oleh komisioner KPU yang kedudukannya lebih tinggi atau memberi tempat spesial pada orang-orang titipan organisasi yang mungkin saja terafiliansi dengan partai-partai tertentu. KPU juga wajib memastikan bahwa seluruh aktivitas dan kinerjanya selalu mengedepankan prinsip integritas dan akuntabilitas agar dapat diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang sah atau legitimate. Perbaiki komunikasi dengan masyarakat agar bisa lebih efektif, termasuk dalam hal keterbukaan informasi dan menanggapi berbagai keluhan yang datang dari masyarakat. 


●Bland, G., Green, A., & Moore, T. (2013). Evaluating Election Administration Systems: Criteria for Accountability. Evaluation, 19(4), 397-410.

● Hartlyn, J., McCoy, J., & Mustillo, T. M. (2008). Electoral Governance Matters: Explaining the Quality of Elections in Contemporary Latin America. Comparative Political Studies, 41(1), 73-98.

 

Sejak hari Jum'at 26 April 2024 kemarin, jagat maya terus menghangat setelah Timnas Indonesia berhasil mengalahkan tim unggulan yakni Ti...


Sejak hari Jum'at 26 April 2024 kemarin, jagat maya terus menghangat setelah Timnas Indonesia berhasil mengalahkan tim unggulan yakni Timnas Korea Selatan dalam lanjutan babak Perempat Final Piala Asia U-23 edisi 2024. Karena pencapaian itu juga, Timnas Indonesia U-23 akhirnya memastikan satu tempat di babak Semi Final Piala Asia U-23 untuk pertama kalinya dalam sejarah. Dan laga Semi Final sendiri akan digelar pada hari Senin 29 April atau hari ini tepat pukul 21:00 WIB.


Namun dalam beberapa jam ke belakang, kehangatan linimasa media sosial sedikit terpecah akibat ulah para pejabat negara dan para politikus yang tiba-tiba muncul dalam banyak poster atau pamflet dengan tema Nonton Bareng Timnas Indonesia. Fenomena ini tidak hanya muncul sekali, sudah cukup sering para pejabat dan para politikus numpang tenar dalam kegiatan-kegiatan olahraga yang bahkan tidak ada hungungannya sama sekali dengan mereka. Meskipun kali ini kemunculan wajah-wajah mereka dibalut kegiatan Nonton Bareng yang mereka selenggarakan di wilayahnya masing-masing. Namun fenomena tersebut menjadi bukti nyata jika pejabat pemerintahan di Indonesia sulit melepaskan diri dari praktik-praktik narsisme. 


Narsisme yang dilakukan para pejabat negara nampaknya tidak lagi menjadi suatu hal aneh atau memalukan, bahkan hal tersebut telah dinormalisasi seakan menjadi satu kesatuan yang sulit untuk dipisahkan. Meskipun narsisme ini seringkali dianggap juga sebagai gangguan kepribadian yang identik dengan kesombongan, kebutuhan untuk dikagumi, kurangnya rasa empati hingga perilaku eksploitatif terhadap orang lain. Namun nyatanya masih banyak pejabat negara yang tetap nyaman untuk menempatkan diri mereka dalam kubangan narsisme itu sendiri. 


Kita bisa melihat contoh narsisme dari para pejabat negara dalam bentuk poster atau pamflet-pamflet yang sering muncul dalam banyak kesempatan terutama dalam rangka memperingati suatu peristiwa tertentu, termasuk dalam kegiatan Nonton Bareng Timnas kali ini. Kemunculan wajah-wajah haus pengakuan tersebut terjadi serentak terutama di instansi pemerintahan level daerah. Yang menjadi lucu, banyak dari para pejabat level daerah ini memampang wajah mereka dengan ukuran yang lebih besar daripada wajah pemain Timnas itu sendiri.


Tidak perlu heran juga memang karena pejabat yang narsistik cenderung memiliki kepercayaan diri yang berlebihan, merasa superior, dan menganggap diri mereka lebih penting daripada orang lain. Mereka sering kali sangat ambisius dan berusaha mencari tempat serta status sosial yang lebih tinggi untuk memenuhi kebutuhan akan pengakuan dan pujian. Mereka cenderung kurang berempati dan kurang peka terhadap kebutuhan serta perasaan orang lain. Pejabat narsistik juga pandai memanipulasi situasi untuk tetap memelihara citra diri yang diinginkan dan menggunakan orang lain sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadi mereka.


Meskipun narsisme dan para pejabat ini sulit untuk untuk pisahkan, tapi setidaknya mereka mesti tahu jika narsisme dalam diri pejabat negara itu tidak lebih dari kelakuan yang terbelakang, memalukan dan menjijikan. Dalam hubungannya dengan kegiatan Nonton Bareng Timnas di Piala Asia U-23 malam ini, sudah seharusnya kegiatan tersebut menjadi hiburan masyarakat yang bebas dari segala kepentingan politis. Toh fasilitas yang digunakan pun milik publik, bukan milik Bupati, Walikota atau Gubernur yang jelas-jelas menjadi alat bagi masyarakat itu sendiri.


Penulis: Kang Dika

Secara teori Indonesia menerapkan sistem demokrasi tidak langsung yang di mana skema penyelenggaraan pemilu harus diawali lebih dulu oleh pe...


Secara teori Indonesia menerapkan sistem demokrasi tidak langsung yang di mana skema penyelenggaraan pemilu harus diawali lebih dulu oleh pemilu legislatif. Dalam hal ini partai politik memiliki peranan yang strategis yaitu menjadi pihak yang diberi kepercayaan politik oleh rakyat melalui mekanisme keterwakilan untuk duduk di kursi parlemen. Posisi partai politik berada di tengah antara warga negara sebagai konsituen dengan eksekutif sebagai pelaksana kebijakan, sesuai dengan aturan yang tertuang dalam Undang-Undang. Dalam hal tugas ini pula lah idealnya partai politik memiliki tanggungjawab penuh kepada rakyat yang telah memberi mereka kepercayaan. Timbal balik tersebut dapat ditunjukan dengan mengakomodir suara yang datang dari rakyat dengan melakukan tugas check and balance terhadap kekuasaan eksekutif. Lebih jauh partai politik pun wajib melakukan kaderisasi dengan menjaring individu-individu terbaik dan representatif untuk duduk di kursi parlemen.


Namun dalam realitasnya, banyak dari partai politik yang ada di Indonesia saat ini malah menjerumuskan posisinya untuk berafiliansi langsung dengan oligarki. Gerak dan langkah partai yang seharusnya menjadi wadah bagi masyarakat dalam hubungannya dengan sistem politik Negara, kini malah terkekang dan dikuasi oleh segelintir elite saja. Bukan tanpa alasan, karena mereka ini memang memiliki modal yang kuat untuk bisa melakukan apapun. Keberadaan gurita oligarki di dalam sistem politik sendiri menguatkan asumsi jika partai politik sudah terlalu lemah dalam melakukan fungsinya sebagai wadah perjuangan rakyat. Fungsi dari rekrumen dan kaderisasi pun seakan tak berguna karena partai politik lebih condong menggelar karpet merah kepada para pemburu kekuasaan yang bermodalkan kekuatan uang.


Pendidikan politik sendiri yang seharusnya didapatkan oleh masyarakat perlahan mulai berubah dari tujuan yang seharusnya. Kini publik hanya diperlihatkan eksistensi partai politik dalam bentuk kampanye semu yang lebih jauh malah berubah menjadi gerakan saling menjatuhkan antara lawan politik. Distribusi berita hoax, fitnah dengan menyerang pribadi, menjadi hal-hal yang seringkali muncul dalam dinamika politik hari ini. Bahkan pada titik yang paling parah, keberadaan partai politik ini seringkali malah menjadikan masyarakat sebagai objek politik semata, atau dengan kata lain rakyat hanya dijadikan sapi perah yang diperlukan suaranya saja ketika pemilu datang.


Masyarakat sebagai subjek demokrasi sudah seharusnya mendapatkan pendidikan politik agar memiliki pengetahuan tentang politik itu sendiri. Tanpa hal tersebut demokrasi hanyalah berjalan secara prosedural tapi miskin makna, sehingga pada akhirnya hanya terjadi formalitas semata. Tapi lagi-lagi praktik ideal yang seharusnya dijalankan oleh partai politik tersebut lebih sering tidak terlaksana dan hanya menjadi sebuah wacana saja. Dalam kaitannya dengan urusan internal partai sekalipun, tak sedikit partai politik hari ini yang gagal mempraktikan mekanisme demokrasi yang benar dan malah terjebak dalam budaya feodalistis. Kecenderungan sentralisasi kekuasaan serta dominasi elite partai yang selalu ingin tampil lebih mencolok pun, makin menambah beban pada sistem demokrasi hari ini.


Kacaunya sistem politik yang ada secara tidak langsung makin membuka ruang bagi para oligarki untuk semakin leluasa melebarkan sayapnya. Mereka bisa masuk ke segala bidang, mulai dari ranah politik untuk memengaruhi kebijakan baik secara ekonomi ataupun hukum, hingga mereka pun bisa menempatkan orang-orangnya untuk menduduki pos-pos di kementerian yang strategis. Lebih mengerikannya lagi penguasa dirancang seolah-olah sangat populis dan merakyat, akan tetapi kenyataannya malah bertanggungjawab kepada oligarki itu sendiri dalam setiap keputusan serta kebijakan yang diambilnya.


Selain karena lemah dan kacaunya sistem politik yang ada, hal seperti ini bisa terjadi  juga karena biaya politik yang semakin mahal. Kebutuhan para politisi akan modal yang besar untuk berkompetisi dalam Pemilu, seringkali dimanfaatkan para oligarki yang memiliki sokongan dana yang besar untuk masuk dan memanfaatkan hal tersebut. Pada akhirnya politik yang harusnya dipahami sebagai kompetisi adu gagasan dan ide serta kekuatan pikiran pun, sedikit demi sedikit mulai tergantikan dengan kompetisi yang mengedepankan kekuatan materi semata.


Lalu apakah kita hanya bisa diam dengan kenyataan yang terjadi dalam dinamika perpolitikan di Indonesia saat ini?

Menghalangi bahkan melawan oligarki bukanlah sesuatu hal yang mudah untuk dilakukan, banyak cara yang sudah ditempuh tapi pada akhirnya harus kandas di tengah jalan. Kuatnya cengkraman dan pengaruh mereka menjadi alasan yang sulit untuk dibantah. Walaupun tak sedikit juga yang sepakat jika oligarki adalah ancaman paling nyata bagi jalannya demokrasi yang ada. Daya rusak oligarki nyata-nyata bisa menimbulkan kerusakan langsung pada sistem ketatanegaraan kita. Hal ini juga membuka ruang kekacauan dalam sistem pemerintahan yang memungkinkan terjadinya penyalahgunaan kebijakan hingga korupsi. Pelemahan institusi penegak hukum, lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja yang tidak dikehendaki rakyat, hingga pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi menjadi bukti nyata kehadiran oligarki di dalam tubuh kekuasaan.


Meski begitu, sudah seharusnya kita sebagai masyarakat untuk terus berusaha mencari solusi agar kehadiran oligarki dalam sistem politik kita saat ini bisa lebih dikendalikan. Salah satunya dengan mendorong peninjauan ulang atas aturan pemilihan umum, karena selama ini pemilu yang ada seringkali menjadi sumber awal munculnya oligarki. Misalnya dengan memperkuat aturan soal pendanaan partai politik, pengawasan terhadap dana kampanye partai dan calon pejabat sejak awal masa pencalonan, hingga yang paling penting adalah menegakkan aturan secara tegas jika terjadi pelanggaran agar menimbulkan efek jera. Hal ini sangat diperlukan karena oligarki yang basisnya berasal dari para pembisnis akan terus mencari celah untuk memanfaatkan para calon pejabat agar kepentingan mereka bisa terus berjalan. Selain itu, hal penting lainnya adalah kita sebagai masyarakat sipil perlu bahu membahu untuk terus menumbuhkan kesadaran dan kewaspadaan jika kehadiran oligarki dalam sistem politik merupakan sebuah ancaman yang sangat berbahaya. Karena mereka bisa berbuat semaunya hingga mengintervensi para pembuat kebijakan.


Penulis: Wahyu Kusuma

  Tuhan Lebih Mencintai Mereka (Puisi untuk korban Gempa Bumi Cianjur, dibuat di Cianjur 29 November 2022) Di kaki Gunung Gede Pangrango yan...

 Tuhan Lebih Mencintai Mereka
(Puisi untuk korban Gempa Bumi Cianjur, dibuat di Cianjur 29 November 2022)



Di kaki Gunung Gede Pangrango yang damai

Hembusan angin lembah menyentuh batang-batang padi yang kian menguning

Riang suara anak-anak masih terdengar menggema di halaman rumah

Mengiringi doa-doa terbaik kami siang hari itu


Sampai akhirnya Sang Penjemput itu pun datang

Merubah pejam mata kami menjadi berat

Menahan langkah dan kaki kami di tempat terakhir kami bersujud


Tanah-tanah yang sebelumnya tenang tiba-tiba berguncang

Gemuruh menjatuhkan semua hal yang ada di segala arah

Atap menganga menembus angkasa

Tembok-tembok terbelah tak sanggup lagi menahan beban yang ada


Seketika, semua tawa anak-anak di halaman pun hilang

Ditelan suara aneh yang tak pernah kami kenal sebelumnya


Allahu Akbar..

Allahu Akbar..

Allahu Akbar..

Hanya pekik Takbirlah yang akhirnya memecahkan kegelapan siang hari itu..


Senin 21 November 2022

Gempa Bumi mengantarkan Ibu, Bapak, Teman dan Saudara kami menjumpai Tuhannya

Tuhan yang begitu mencintai mereka melebihi cinta yang kami miliki











Puisi dan foto dibuat oleh: Kang Dika

  Pendidikan sangat berperan penting dalam menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, memiliki kompetensi, berdaya saing , dan mempu...

 


Pendidikan sangat berperan penting dalam menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, memiliki kompetensi, berdaya saing, dan mempunyai karakter serta budi pekerti yang unggul. Maka dari itu pendidikan merupakan kunci utama untuk mencapai tujuan tersebut. Namun belakangan apa yang kita semua harapkan ini malah terjadi kebalikannya, terbukti dengan makin banyak prilaku negatif yang dilakukan para pelajar kita. Mulai dari tawuran, tindakan kekerasan hingga yang terbaru adalah kejadian memalukan yang terjadi disalah satu sekolah yang ada Ujungberung, Kota Bandung, yaitu kasus perundungan (bullying) yang melibatkan siswa Sekolah Menengah Pertama. Kasus perundungan yang viral pada bulan November kemarin ini sempat membuat heboh jagat maya karena memperlihatkan aksi bullying terhadap seorang siswa yang disaksikan oleh siswa lainnya. Miris, siswa lain yang ada dilokasi kejadian itu pun tidak ada yang berani menghentikan aksi tersebut dan malah merekamnya.


Tidak hanya itu, kita pun sempat dibuat mengelus dada oleh kasus yang lain, yaitu video sejumlah pelajar Sekolah Menengah Kejuruan di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, yang menganiaya seorang nenek hingga viral diseluruh media sosial. Dalam video tersebut diperlihatkan aksi para pelajar yang mengejek serta menendang seorang perempuan tua hingga tersungkur. Sungguh sebuah tindakan yang sangat tidak beradab dan lebih tepat jika disebut sebagai tindakan kriminal. Rentetan kasus tersebut menjadi bukti jika kualitas moral, etika serta sopan santun dari generasi muda saat ini khususnya para pelajar semakin menurun. Lalu siapakah yang mesti disalahkan atas semua kejadian ini, adakah tata kelola sistem pendidikan kita yang bermasalah?


Tak bisa dimungkiri dengan makin berkembangnya teknologi yang sedikit banyak telah membawa budaya baru pada segala lini kehidupan, secara langsung ikut memengaruhi juga kualitas pendidikan dan sisi psikologis para pelajar. Munculnya tren-tren baru diberbagai media sosial seringkali menjadi pintu awal yang membuat hal negatif tersebut terjadi. Kemalasan berfikir hingga perubahan pola prilaku dari para pelajar menjadi hal yang seringkali muncul akibat sisi buruk dari perkembangan terknologi yang ada. Dan jika hal seperti ini tidak dikontrol dengan bijak maka akan memerparah keadaan yang terjadi. Disamping itu, rendahnya minat pelajar kita untuk membaca serta menulis pun masih menjadi persoalan yang fundamental, dan hal ini secara tidak langsung memungkinkan mereka untuk menyibukan diri sendiri dengan kegiatan lain yang dianggap lebih modern, keren dan dirasa sejalan dengan jati diri diri mereka sebagai seorang anak muda. Namun mirisnya kebanyakan perkembangan yang ada saat ini lebih banyak diisi oleh hal-hal negatif. Sehingga mereka bisa dengan mudah terpengaruh oleh beragam hal negatif tersebut yang lambat laun mempengaruhi pola berfikir serta psikologi mereka.


Meski begitu kita tidak bisa terus mencari kambing hitam untuk saling menyalahkan tentang siapa yang harus bertanggungjawab atas kemunduran mental pendidikan bangsa saat ini, karena apa yang terjadi merupakan tanggungjawab kita bersama. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah bersama-sama mencari solusi serta ide untuk menciptakan sebuah sistem pendidikan yang selalu mengedepankan kualitas, tapi mendorong juga hadirnya perbaikan pada sisi psikologis siswa. Orang tua, guru, pihak sekolah, pemerintah dalam hal ini dinas dan kementrian pendidikan serta semua pihak yang berhubungan dengan sistem pendidikan yang ada memiliki tanggung jawab yang sama untuk melakukan perubahan, agar setiap sisi yang mungkin luput dari perhatian bisa terlindungi serta terawasi dengan baik.


Di sisi lain guru yang merupakan pendidik, pembimbing, penilai serta motivator bagi para siswa pun menjadi benteng yang paling memengaruhi maju ataupun mundurnya kualitas dari pendidikan itu sendiri. Maka dari itu pemerintah perlu menjaga, melindungi serta memperhatikan faktor-faktor penunjang para guru agar mereka lebih termotivasi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Penguatan kompetensi, profesionalisme dan kesejahteraan para guru juga menjadi satu hal yang harus terus ditingkatkan agar supaya peran guru sebagai fasilitator yang mendukung jalannya proses pembelajaran bisa lebih efektif dan berkualitas.


Selain itu akan lebih baik juga jika semua pihak yang ada bisa melepaskan stigma jika sekolah hanyalah sebagai formalitas semata untuk mendapatkan sebuah ijazah, apapun itu jenjang pendidikannya. Karena pendidikan nyatanya harus memberikan dampak serta efek positif bagi penimba ilmu itu sendiri. Mereka mesti kuat dengan bekal ilmu pengetahuan yang luas, etika yang baik, serta kondisi mental yang sehat agar bisa menjadi sumber daya manusia yang unggul serta kreatif, terlebih dalam menghadapi tantangan besar perkembangan zaman yang sangat dinamis ini.


Penulis: Wahyu Kusuma

  Senin 21 November 2022, Indonesia kembali berduka atas kejadian gempa bumi berkekuatan M 5,6 yang mengguncang wilayah Cianjur dan sekitarn...

 


Senin 21 November 2022, Indonesia kembali berduka atas kejadian gempa bumi berkekuatan M 5,6 yang mengguncang wilayah Cianjur dan sekitarnya. Akibat bencana alam ini, lebih dari 300 orang meninggal dunia dan ribuan rumah warga yang terletak di 12 kecamatan, di Kabupaten Cianjur mengalami kerusakan parah bahkan hancur tak bersisa. Dilansir dari berbagai sumber, ada beberapa alasan yang membuat gempa di Cianjur ini menjadi sangat mengerikan. Ahli geologi Awang Harun Satyana mengatakan jika gempa dengan kekuatan M 5,6 tersebut termasuk moderat. Yang mana energi daya rusaknya hampir sama dengan di atas rata-rata bencana tornado yang seringkali melanda Amerika Utara. Dan gempa Cianjur ini pun hanya berada di bawah kekuatan ledakan bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima, Jepang, pada 6 Agustus 1945 lalu yang kira-kira ekivalen dengan gempa sekuat 6,2 SR.


Dari sumber yang sama dikatakan juga, sedikitnya ada 4 hal yang membuat gempa ini begitu mematikan. Pertama, pusat gempa yang terjadi terletak di kedalaman 10 km (kategori cukup dangkal) sehingga energinya lebih kuat ketika mengguncang permukaan. Kedua, terdapat banyak wilayah lereng atau pegunungan yang secara topografi bukan area stabil saat dilanda gempa, sehingga bisa memicu terjadinya bencana susulan yaitu longsor. Ketiga, tanah disekitar lokasi kejadian merupakan tanah yang berasal dari pelapukan endapan gunung api muda yang secara waktu belum cukup kuat, yang efeknya energi gempa sulit ditahan oleh tanah dan malah menguat di permukaan. Keempat, konstruksi bangunan disekitar wilayah kejadian khususnya dan umumnya di Indonesia memang tidak dibangun untuk tahan terhadap gempa.


Sejak awal kejadian tak sedikit yang menduga jika gempa bumi yang guncangannya terasa hingga wilayah Bandung dan Jakarta ini disebabkan oleh pergerakan Sesar Cimandiri. Namun beberapa pakar dan akademisi tak sependapat dan meragukan jika gempa tersebut bukan disebabkan oleh aktivitas Sesar Cimandiri. Dikutip dari cnnindonesia.com Dosen Fakultas Teknik Geologi Unpad Ismawan memaparkan jika kawasan Cugenang yang menjadi titik pusat dari gempa Cianjur berjarak sekitar 10 kilometer di sebelah utara jalur patahan Cimandiri.  Cimandiri sendiri merupakan sesar yang melintasi banyak wilayah mulai dari kawasan Pelabuhan Ratu di Sukabumi lalu membentang ke arah timur dan berbelok ke utara hingga mencapai kawasan Gunung Tangkuban Perahu di wilayah Bandung Utara.



Tak bisa dimungkiri, sebagai wilayah yang terletak di pertemuan 3 lempeng tektonik dunia yaitu Lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik, secara langsung menjadikan Indonesia menjadi negara yang memiliki potensi gempa bumi cukup besar. Di Jawa Barat sendiri terdapat beberapa sesar atau patahan, baik yang sudah tercatat maupun yang belum tercatat. Sedikitnya ada 6 sesar yang menyimpan potensi gempa yaitu Sesar Cimandiri, Sesar Lembang, Sesar Baribis, Sesar Garsela, Sesar Citarik dan Sesar Cipamingkis.



Berkaca dari peristiwa gempa yang melanda banyak wilayah Indonesia, hal ini seharusnya bisa menjadi dasar serta acuan bagi pemegang kebijakan untuk meningkatkan usaha mitigasi. Mitigasi sendiri dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu mitigasi struktural yang berfokus pada pembangunan infrastruktur dan mitigasi nonstruktural yang berfokus pada edukasi masyarakat. Semua pihak harus mulai menyadari jika gempa bumi merupakan ancaman nyata yang sulit untuk dihindari. Dan untuk meminimalisir hal tersebut kita hanya bisa melakukan antisipasi dengan cara-cara yang membutuhkan proses. Salah satunya dengan memperbaiki sistem tata ruang wilayah rawan bencana dengan baik dan benar. Banyak ahli percaya dengan melakukan perbaikan tata ruang, hal ini bisa menurunkan resiko jatuhnya korban ketika terjadi bencana. Sesuai amanat undang-undang juga, sudah seharusnya negara kita memiliki batas-batas wilayah aman yang boleh dan tidak boleh dibangun pemukiman oleh masyarakat. Alasannya tentu demi keselamatan dan keamanan masyarakat itu sendiri sehingga kalaupun terjadi bencana hal ini bisa meminimalisir baik dari sisi kerugian materi maupun korban jiwa.


Sebagai contoh untuk wilayah Bandung saja yang 'dikepung' oleh beberapa sesar aktif, mulai dari sesar Cimandiri disebelah barat, sesar Lembang di wilayah utara dan sesar Garsela dibagian selatan, masih belum menjadikan fakta ini sebagai peringatan bagi Pemerintah dan masyarakatnya. Masih banyak masyarakat yang abai dan nekat membangun rumah di atas tanah yang berpotensi terdampak bencana jika nantinya sesar ini aktif. Lebih parahnya lagi, tempat-tempat yang terletak lereng dan perbukitan yang jelas-jelas memiliki resiko lebih tinggi jika bencana terjadi pun, kini malah menjadi primadona bagi para developer untuk membangun perumahan-perumahan yang dijual mahal dengan tagline "rumah dengan pemandangan terbaik". Tak hanya perumahan, hotel dan tempat wisata juga banyak yang dibangun di atas atau di sekitar wilayah yang terlintasi patahan-patahan ini. Miris memang, banyaknya bencana tidak sedikitpun menyadarkan manusia untuk lebih bijak dalam membangun.


Gempa yang terjadi di Cianjur beberapa hari lalu harusnya menjadi peringatan keras bagi kita semua untuk lebih serius dalam memperhatikan lingkungan dan tempat tinggal yang kita huni. Agar setidaknya kita bisa melakukan perencanaan dan mitigasi ketika bencana terjadi. Ke depan, Pemerintah khususnya Pemerintah Daerah yang wilayahnya masuk dalam wilayah rawan bencana harus lebih menggalakkan lagi berbagai edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang mitigasi bencana, agar masyarakatnya bisa lebih peduli dan siap siaga ketika bencana menimpa mereka. Misalnya dengan melakukan berbagai pelatihan, memberi anjuran soal rumah tahan gempa (khususnya pada pengembang perumahan), dan yang paling baik adalah memperkuat aturan tata ruang agar tidak semua wilayah dapat dibangun menjadi pemukiman. Karena tidak semua tempat yang terlihat indah aman untuk ditinggali, bisa saja di tempat tersebut tersimpan ancaman bencana yang luar biasa mematikan.


Turut berduka cita untuk keluarga dan korban dari bencana Gempa Bumi Cianjur yang terjadi hari senin lalu, semoga kejadian ini bisa menjadi jalan untuk mengambil hikmah atas apa yang terjadi dan kejadian ini pun harus menjadi pelajaran bagi kita semua.


Penulis: Kang Dika


Sumber:

https://www.cnbcindonesia.com/news/20221126114632-4-391424/ahli-gempa-cianjur-cuma-kalah-dari-efek-bom-atom

https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20221125131656-199-878633/kenapa-sebagian-ahli-ragu-sesar-cimandiri-sumber-gempa-cianjur

  Demokrasi yang baik dalam sebuah negara tercipta oleh adanya peran serta elemen masyarakat yang dengan sadar membatasi dirinya dengan b...

 


Demokrasi yang baik dalam sebuah negara tercipta oleh adanya peran serta elemen masyarakat yang dengan sadar membatasi dirinya dengan budaya politik yang dewasa. Berpolitik tanpa diimbangi dengan kedewasaan tentu akan menimbulkan sebuah permasalahan yang membuat terkikisnya moral dalam praktik demokrasi itu sendiri. Sehingga membuat kondisi bangsa dan Negara menjadi tidak stabil bahkan cenderung dapat menimbulkan sebuah polarisasi atau keterbelahan yang berujung pada tidak sehatnya sistem demokrasi yang ada. Perbedaan dalam masyarakat merupakan suatu hal yang wajar dan mestinya tidak perlu untuk dicemaskan, terlebih demokrasi ini bisa dipahami juga sebagai ruang untuk menampung berbagai perbedaan dan semua perbedaan tersebut dapat disalurkan ke dalam bentuk eksistensi organisasi masyarakat ataupun partai politik. Sikap partisan atau keberpihakan kepada partai politik pun harus diimbangi juga oleh batasan-batasan yang wajar, agar tidak menimbulkan hal yang negatif yang membuat ruang keterbelahan ini semakin melebar.


Dewasa ini polarisasi atau keterbelahan dalam kehidupan berpolitik dapat kita lihat dan rasakan dari munculnya sekelompok orang yang menganggap jika pandangan dan prinsip yang mereka miliki sebagai yang paling benar dibanding yang lainnya. Hal ini tergambar langsung oleh adanya gerakan buzzer ataupun influencer politik yang bergerak masif dalam berbagai media sosial. Mereka selalu menempatkan orang ataupun kelompok yang bersebrangan dengan mereka sebagai orang atau kelompok yang salah dalam bernegara. Dengan keberadaan mereka yang tidak terlihat mereka bisa leluasa menyerang setiap orang dengan berbagai macam cara dan tak segan menyerang karakter seseorang hingga men-doxing atau menyebarkan identitas seseorang tanpa tanggung jawab.


Polarisasi atau keterbelahan ini bisa semakin berbahaya ketika para pemegang kebijakan ataupun para politikus nasional menganggap jika penggunaan buzzer dan influencer politik ini sebagai hal yang wajar. Padahal kenyataannya adanya buzzer atau apapun itu istilahnya bisa membuat polarisasi atau keterbelahan di tengah masyarakat menjadi semakin meruncing. Twitter menjadi salah satu media sosial yang paling sering digunakan oleh para buzzer untuk membuat kegaduhan dengan melakukan ujaran kebencian dan melemparkan isu-isu yang nilai kebenarannya masih diragukan. Twitter juga mampu membentuk agenda setting di mana topik yang dibicarakan pada twitter menjadi topik yang diangkat oleh media-media mainstream. Mereka menggiring opini seakan yang mereka bicarakan merupakan isu yang muncul dan disepakati oleh mayoritas masyarakat. Tidak sampai disitu, para buzzer ini pun menggunakan media sosial lainnya seperti facebook, instagram, youtube, ataupun whatsapp untuk mendistribusikan pesan-pesan yang mereka buat agar jangkauannya lebih luas.


Penulis beranggapan jika penggunaan buzzer oleh aktor-aktor politik dalam rangka mencapai tujuan yang mereka inginkan merupakan bentuk dari penyalahgunaan fungsi media sosial itu sendiri. Karena tidak jarang para buzzer tersebut menjalankan aksinya dengan mengabaikan moral dan etika. Bahkan karena mereka memiliki keistimewaan hukum”, tak jarang mereka pun menjebak orang-orang yang bersebrangan agar terjerat dengan delik yang ada dalam Undang-Undang ITE. Ironis memang, UU ITE yang seharusnya menjadi aturan untuk mengatasi masalah seperti ujaran kebencian, misinformasi ataupun disinformasi malah menjadi senjata untuk memukul urang-orang yang berbeda pendapat. Diakui atau tidak, situasi seperti ini menjadi titik awal kemuduran bagi negara yang mengklaim dirinya sebagai negara demokratis. Selain membuat kehidupan demokrasi menjadi tidak sehat, adanya buzzer politik khususnya yang digunakan oleh para politikus dan pemegang kebijakan ini bisa mengaburkan esensi demokrasi dan menghilangkan fungsi edukasi politik yang seharusnya didapatkan oleh masyarakat terutama pengguna media sosial.


Sudah waktunya kita sebagai masyarakat untuk lebih cerdas dalam mencerna segala bentuk informasi, terutama informasi yang mengandung ujaran kebencian serta informasi yang belum tentu benar adanya. Jangan lagi terpancing dengan segala agenda buzzer yang tujuannya untuk menjebak orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka. Begitu juga dengan para politisi dan pemegang kebijakan, sudah seharusnya mereka menyadari jika demokrasi itu erat kaitannya dengan orang-orang yang tidak sependapat dan memungkinkan hadirnya kritik keras dari berbagai pihak. Kita semua sudah bersepakat jika Negara ini akan dijalankan dengan kendaraan bernama demokrasi, maka dari itu sudah seharusnya kita menjaga demokrasi ini dengan baik agar selalu sehat dan bebas dari adanya polarisasi atau keterbelahan. Sebagai bangsa yang besar kita pun memiliki prinsip yang sempurna bernama Gotong Royong, sudah seharusnya prinsip ini dijadikan landasan dalam menjalankan berkehidupan berbangsa dan bernegara agar kita bisa mencapai tujuan yang dicita-citakan yaitu menjadi Negara yang bermartabat, unggul, produktif, maju, mandiri, adil dan sejahtera.


Penulis: Wahyu Kusuma