Demokrasi yang baik dalam sebuah negara tercipta oleh adanya peran serta elemen masyarakat yang dengan sadar membatasi dirinya dengan budaya politik yang dewasa. Berpolitik tanpa diimbangi dengan kedewasaan tentu akan menimbulkan sebuah permasalahan yang membuat terkikisnya moral dalam praktik demokrasi itu sendiri. Sehingga membuat kondisi bangsa dan Negara menjadi tidak stabil bahkan cenderung dapat menimbulkan sebuah polarisasi atau keterbelahan yang berujung pada tidak sehatnya sistem demokrasi yang ada. Perbedaan dalam masyarakat merupakan suatu hal yang wajar dan mestinya tidak perlu untuk dicemaskan, terlebih demokrasi ini bisa dipahami juga sebagai ruang untuk menampung berbagai perbedaan dan semua perbedaan tersebut dapat disalurkan ke dalam bentuk eksistensi organisasi masyarakat ataupun partai politik. Sikap partisan atau keberpihakan kepada partai politik pun harus diimbangi juga oleh batasan-batasan yang wajar, agar tidak menimbulkan hal yang negatif yang membuat ruang keterbelahan ini semakin melebar.
Dewasa ini polarisasi atau keterbelahan dalam kehidupan berpolitik dapat kita lihat dan rasakan dari munculnya sekelompok orang yang menganggap jika pandangan dan prinsip yang mereka miliki sebagai yang paling benar dibanding yang lainnya. Hal ini tergambar langsung oleh adanya gerakan buzzer ataupun influencer politik yang bergerak masif dalam berbagai media sosial. Mereka selalu menempatkan orang ataupun kelompok yang bersebrangan dengan mereka sebagai orang atau kelompok yang salah dalam bernegara. Dengan keberadaan mereka yang tidak terlihat mereka bisa leluasa menyerang setiap orang dengan berbagai macam cara dan tak segan menyerang karakter seseorang hingga men-doxing atau menyebarkan identitas seseorang tanpa tanggung jawab.
Polarisasi atau keterbelahan ini bisa semakin berbahaya ketika para pemegang kebijakan ataupun para politikus nasional menganggap jika penggunaan buzzer dan influencer politik ini sebagai hal yang wajar. Padahal kenyataannya adanya buzzer atau apapun itu istilahnya bisa membuat polarisasi atau keterbelahan di tengah masyarakat menjadi semakin meruncing. Twitter menjadi salah satu media sosial yang paling sering digunakan oleh para buzzer untuk membuat kegaduhan dengan melakukan ujaran kebencian dan melemparkan isu-isu yang nilai kebenarannya masih diragukan. Twitter juga mampu membentuk agenda setting di mana topik yang dibicarakan pada twitter menjadi topik yang diangkat oleh media-media mainstream. Mereka menggiring opini seakan yang mereka bicarakan merupakan isu yang muncul dan disepakati oleh mayoritas masyarakat. Tidak sampai disitu, para buzzer ini pun menggunakan media sosial lainnya seperti facebook, instagram, youtube, ataupun whatsapp untuk mendistribusikan pesan-pesan yang mereka buat agar jangkauannya lebih luas.
Penulis beranggapan jika penggunaan buzzer oleh aktor-aktor politik dalam rangka mencapai tujuan yang mereka inginkan merupakan bentuk dari penyalahgunaan fungsi media sosial itu sendiri. Karena tidak jarang para buzzer tersebut menjalankan aksinya dengan mengabaikan moral dan etika. Bahkan karena mereka memiliki “keistimewaan hukum”, tak jarang mereka pun menjebak orang-orang yang bersebrangan agar terjerat dengan delik yang ada dalam Undang-Undang ITE. Ironis memang, UU ITE yang seharusnya menjadi aturan untuk mengatasi masalah seperti ujaran kebencian, misinformasi ataupun disinformasi malah menjadi senjata untuk memukul urang-orang yang berbeda pendapat. Diakui atau tidak, situasi seperti ini menjadi titik awal kemuduran bagi negara yang mengklaim dirinya sebagai negara demokratis. Selain membuat kehidupan demokrasi menjadi tidak sehat, adanya buzzer politik khususnya yang digunakan oleh para politikus dan pemegang kebijakan ini bisa mengaburkan esensi demokrasi dan menghilangkan fungsi edukasi politik yang seharusnya didapatkan oleh masyarakat terutama pengguna media sosial.
Sudah waktunya kita sebagai masyarakat untuk lebih cerdas dalam mencerna segala bentuk informasi, terutama informasi yang mengandung ujaran kebencian serta informasi yang belum tentu benar adanya. Jangan lagi terpancing dengan segala agenda buzzer yang tujuannya untuk menjebak orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka. Begitu juga dengan para politisi dan pemegang kebijakan, sudah seharusnya mereka menyadari jika demokrasi itu erat kaitannya dengan orang-orang yang tidak sependapat dan memungkinkan hadirnya kritik keras dari berbagai pihak. Kita semua sudah bersepakat jika Negara ini akan dijalankan dengan kendaraan bernama demokrasi, maka dari itu sudah seharusnya kita menjaga demokrasi ini dengan baik agar selalu sehat dan bebas dari adanya polarisasi atau keterbelahan. Sebagai bangsa yang besar kita pun memiliki prinsip yang sempurna bernama Gotong Royong, sudah seharusnya prinsip ini dijadikan landasan dalam menjalankan berkehidupan berbangsa dan bernegara agar kita bisa mencapai tujuan yang dicita-citakan yaitu menjadi Negara yang bermartabat, unggul, produktif, maju, mandiri, adil dan sejahtera.
Penulis: Wahyu Kusuma
0 komentar: