Senin 21 November 2022, Indonesia kembali berduka atas kejadian gempa bumi berkekuatan M 5,6 yang mengguncang wilayah Cianjur dan sekitarnya. Akibat bencana alam ini, lebih dari 300 orang meninggal dunia dan ribuan rumah warga yang terletak di 12 kecamatan, di Kabupaten Cianjur mengalami kerusakan parah bahkan hancur tak bersisa. Dilansir dari berbagai sumber, ada beberapa alasan yang membuat gempa di Cianjur ini menjadi sangat mengerikan. Ahli geologi Awang Harun Satyana mengatakan jika gempa dengan kekuatan M 5,6 tersebut termasuk moderat. Yang mana energi daya rusaknya hampir sama dengan di atas rata-rata bencana tornado yang seringkali melanda Amerika Utara. Dan gempa Cianjur ini pun hanya berada di bawah kekuatan ledakan bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima, Jepang, pada 6 Agustus 1945 lalu yang kira-kira ekivalen dengan gempa sekuat 6,2 SR.
Dari sumber yang sama dikatakan juga, sedikitnya ada 4 hal yang membuat gempa ini begitu mematikan. Pertama, pusat gempa yang terjadi terletak di kedalaman 10 km (kategori cukup dangkal) sehingga energinya lebih kuat ketika mengguncang permukaan. Kedua, terdapat banyak wilayah lereng atau pegunungan yang secara topografi bukan area stabil saat dilanda gempa, sehingga bisa memicu terjadinya bencana susulan yaitu longsor. Ketiga, tanah disekitar lokasi kejadian merupakan tanah yang berasal dari pelapukan endapan gunung api muda yang secara waktu belum cukup kuat, yang efeknya energi gempa sulit ditahan oleh tanah dan malah menguat di permukaan. Keempat, konstruksi bangunan disekitar wilayah kejadian khususnya dan umumnya di Indonesia memang tidak dibangun untuk tahan terhadap gempa.
Sejak awal kejadian tak sedikit yang menduga jika gempa bumi yang guncangannya terasa hingga wilayah Bandung dan Jakarta ini disebabkan oleh pergerakan Sesar Cimandiri. Namun beberapa pakar dan akademisi tak sependapat dan meragukan jika gempa tersebut bukan disebabkan oleh aktivitas Sesar Cimandiri. Dikutip dari cnnindonesia.com Dosen Fakultas Teknik Geologi Unpad Ismawan memaparkan jika kawasan Cugenang yang menjadi titik pusat dari gempa Cianjur berjarak sekitar 10 kilometer di sebelah utara jalur patahan Cimandiri. Cimandiri sendiri merupakan sesar yang melintasi banyak wilayah mulai dari kawasan Pelabuhan Ratu di Sukabumi lalu membentang ke arah timur dan berbelok ke utara hingga mencapai kawasan Gunung Tangkuban Perahu di wilayah Bandung Utara.
Berkaca dari peristiwa gempa yang melanda banyak wilayah Indonesia, hal ini seharusnya bisa menjadi dasar serta acuan bagi pemegang kebijakan untuk meningkatkan usaha mitigasi. Mitigasi sendiri dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu mitigasi struktural yang berfokus pada pembangunan infrastruktur dan mitigasi nonstruktural yang berfokus pada edukasi masyarakat. Semua pihak harus mulai menyadari jika gempa bumi merupakan ancaman nyata yang sulit untuk dihindari. Dan untuk meminimalisir hal tersebut kita hanya bisa melakukan antisipasi dengan cara-cara yang membutuhkan proses. Salah satunya dengan memperbaiki sistem tata ruang wilayah rawan bencana dengan baik dan benar. Banyak ahli percaya dengan melakukan perbaikan tata ruang, hal ini bisa menurunkan resiko jatuhnya korban ketika terjadi bencana. Sesuai amanat undang-undang juga, sudah seharusnya negara kita memiliki batas-batas wilayah aman yang boleh dan tidak boleh dibangun pemukiman oleh masyarakat. Alasannya tentu demi keselamatan dan keamanan masyarakat itu sendiri sehingga kalaupun terjadi bencana hal ini bisa meminimalisir baik dari sisi kerugian materi maupun korban jiwa.
Sebagai contoh untuk wilayah Bandung saja yang 'dikepung' oleh beberapa sesar aktif, mulai dari sesar Cimandiri disebelah barat, sesar Lembang di wilayah utara dan sesar Garsela dibagian selatan, masih belum menjadikan fakta ini sebagai peringatan bagi Pemerintah dan masyarakatnya. Masih banyak masyarakat yang abai dan nekat membangun rumah di atas tanah yang berpotensi terdampak bencana jika nantinya sesar ini aktif. Lebih parahnya lagi, tempat-tempat yang terletak lereng dan perbukitan yang jelas-jelas memiliki resiko lebih tinggi jika bencana terjadi pun, kini malah menjadi primadona bagi para developer untuk membangun perumahan-perumahan yang dijual mahal dengan tagline "rumah dengan pemandangan terbaik". Tak hanya perumahan, hotel dan tempat wisata juga banyak yang dibangun di atas atau di sekitar wilayah yang terlintasi patahan-patahan ini. Miris memang, banyaknya bencana tidak sedikitpun menyadarkan manusia untuk lebih bijak dalam membangun.
Gempa yang terjadi di Cianjur beberapa hari lalu harusnya menjadi peringatan keras bagi kita semua untuk lebih serius dalam memperhatikan lingkungan dan tempat tinggal yang kita huni. Agar setidaknya kita bisa melakukan perencanaan dan mitigasi ketika bencana terjadi. Ke depan, Pemerintah khususnya Pemerintah Daerah yang wilayahnya masuk dalam wilayah rawan bencana harus lebih menggalakkan lagi berbagai edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang mitigasi bencana, agar masyarakatnya bisa lebih peduli dan siap siaga ketika bencana menimpa mereka. Misalnya dengan melakukan berbagai pelatihan, memberi anjuran soal rumah tahan gempa (khususnya pada pengembang perumahan), dan yang paling baik adalah memperkuat aturan tata ruang agar tidak semua wilayah dapat dibangun menjadi pemukiman. Karena tidak semua tempat yang terlihat indah aman untuk ditinggali, bisa saja di tempat tersebut tersimpan ancaman bencana yang luar biasa mematikan.
Turut berduka cita untuk keluarga dan korban dari bencana Gempa Bumi Cianjur yang terjadi hari senin lalu, semoga kejadian ini bisa menjadi jalan untuk mengambil hikmah atas apa yang terjadi dan kejadian ini pun harus menjadi pelajaran bagi kita semua.
Penulis: Kang Dika
Sumber:
0 komentar: