Sejumlah wilayah di Kabupaten Bandung kembali terdampak banjir akibat hujan deras yang terjadi pada Sabtu (22/10/2022) malam hingga Ahad (23/10/2022) dini hari. Bencana kali ini tidak hanya terjadi di daerah langganan banjir seperti Dayeuhkolot, Baleendah ataupun Kamasan. Tapi terjadi juga di daerah lain seperti di Kecamatan Cangkuang dan Kecamatan Soreang akibat meluapnya sungai Cikambuy dan Cijalupang. Dari data yang ada, banjir di lokasi ini memang cukup sering terjadi dalam 10 tahun terakhir, dengan kasus terparah terjadi pada tahun 2012 lalu yang mendampak ratusan rumah di perumahan Cincin Permata Indah. Walapun tidak menimbulkan korban jiwa, banjir yang terjadi disalah satu akses menuju Polresta Bandung ini sempat merendam sejumlah rumah warga dan menggangu mobilitas masyarakat yang menggunakan jalan di antara wilayah Soreang dan Banjaran tersebut.
Seiring dengan
perubahan iklim yang terjadi, kini potensi banjir yang ada semakin sulit untuk
diprediksi. Banjir bisa terjadi kapan saja dan di mana saja serta tidak
mengenal lagi lokasi ataupun ketinggian suatu tempat. Hal ini terbukti dari makin
meratanya peta sebaran banjir di wilayah Kabupaten Bandung. Sebagai warga asli
Kabupaten Bandung saya tahu betul jika daerah-daerah seperti Pangalengan,
Ciwidey dan Pasir Jambu yang memiliki diketinggian lebih 1000 mdpl, sejak dulu bukan
merupakan wilayah yang berpotensi mengalami banjir. Tapi sekarang ketiga wilayah
tersebut malah menjadi pusat dari banjir-banjir besar yang terjadi di Bandung
Selatan. Seperti yang terjadi pada bulan Juni lalu, banjir besar di wilayah
Ciwidey dan Pasir Jambu ini berhasil menghancurkan sejumlah rumah warga serta beberapa
fasilitas umum yang tersedia. Namun mirisnya, masih ada saja orang yang
menganggap jika banjir yang terjadi hanya disebabkan oleh curah hujan yang
tinggi. Padahal jika dipahami lebih jauh, banjir merupakan masalah kompleks
yang penyebabnya bukan hanya soal curah hujan, tapi ada masalah lain yang juga
ikut memengaruhinya. Mulai karena masih banyaknya masyarakat yang abai dan
membuang sampah sembarangan ke sungai, adanya sedimentasi sungai yang dibiarkan
begitu saja oleh pemegang kebijakan, hingga yang paling parah adalah akibat
terjadinya deforestasi atau alih fungsi hutan di wilayah daratan tinggi dan di
kawasan hulu sungai.
Sulit rasanya untuk membantah jika alih fungsi hutan dan lahan bukan merupakan penyebab utama dari bencana banjir yang terjadi wilayah Kabupaten Bandung. Sebagai daerah yang dibentengi oleh beberapa pegunungan dan perbukitan, banyak sungai di daerah Bandung Selatan yang bersumber langsung dari kawasan tersebut. Dan ketika kawasan yang seharusnya menjadi sumber resapan ini dialih fungsikan menjadi area pertanian, perkebunan, pemukiman bahkan menjadi tempat-tempat wisata, terbukti sudah potensi banjir di Kabupaten Bandung meningkat secara signifikan. Dalam beberapa kesempatan saya sendiri pernah mendatangi langsung kawasan di Bandung Selatan yang menjadi hulu bagi beberapa sungai, termasuk sungai-sungai yang ada di wilayah Kecamatan Cangkuang dan Soreang. Mulai dari kawasan pegunungan Patuha, Cagar Alam Gunung Tilu hingga bukit-bukit kecil di perbatasan Kecamatan Cangkuang dan Kecamatan Pasir Jambu. Dari kunjungan tersebut, saya menyaksikan langsung adanya alih fungsi hutan dan lahan secara besar-besaran untuk kepentingan perkebunan, objek-objek wisata hingga proyek strategis nasional.
0 komentar: