Meningkatnya angka tindak pidana korupsi, penggelapan, dan tindak pidana lainnya yang menggerogoti keuangan negara kita, makin hari makin memprihatinkan. Yang lebih parah aktivitas pencurian keuangan negara ini dilakukan oleh oknum pejabat Negara, mulai dari level daerah hingga tingkat nasional. Mirisnya lagi kebanyakan dari mereka merupakan pejabat publik yang dipilih langsung oleh masyarakat untuk duduk dikursi kekuasaan. Permasalahan antara korupsi, politik dan kekuasaan sepertinya menjadi lingkaran setan yang tak kunjung terselesaikan di negeri kita Indonesia. Ada beberapa masalah yang membuat praktik buruk ini tetap lestari, salah satunya karena lemahnya pengawasan serta kontrol dari lembaga Negara untuk menyentuh akar masalah dari apa yang terjadi. Begitu juga dengan minimnya perhatian dari penguasa masing-masing partai yang sejatinya berkewajiban membina kader-kadernya sebelum duduk di kursi kekuasaan.
Untuk mengatasi masalah yang terjadi, penulis berpendapat perlu adanya perubahan mendasar dari sistem politik yang ada dan salah satunya bisa dimulai dengan pembiayaan partai politik oleh Negara. Sudah seharusnya kita berhenti mengikuti model negara kapitalis seperti Amerika Serikat yang mengharuskan partai politiknya mencari dana sendiri untuk menghidupi partainya. Karena hal seperti itu seringkali menjadi celah awal korupsi, kolusi serta nepotisme, apalagi dengan biaya politik yang dianggap mahal oleh para pelakunya. Terbukti dari apa yang terjadi sekarang, banyak dari petugas partai yang ada melakukan kasus penggelapan hingga tindak pidana korupsi dengan menggerogoti APBN, APBD, bahkan anggaran Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dan kemudian hasilnya tersebut disetor ke internal partainya masing-masing, dan tentu saja masuk juga ke kantong pribadi oknum anggota partai tersebut. Dengan dibiayai oleh negara, segala potensi kecurangan, penggelapan anggaran hingga KKN yang akan terjadi di dalam partai politik bisa lebih terkontrol serta terawasi oleh Negara.
Dari penelusuran yang dilakukan, sepanjang tahun 2004 hingga 2019 terdapat 1152 kasus yang melibatkan pejabat publik dan swasta yang melakukan tindak pidana korupsi. Dari jumlah tersebut 397 orang di antaranya menduduki jabatan politik, dengan rincian 257 orang anggota DPR atau DPRD, 21 orang Gubernur, dan 119 orang adalah Bupati atau Walikota serta wakilnya yang notabe berlatar belakang dari partai politik. Lalu contoh kasus yang berhubungan langsung dengan pengaliran dana hasil korupsi ke partai politik bisa kita lihat dari kasus korupsi yang menjerat Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dalam kasus korupsi proyek pembangunan Pusat Pelatihan, Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang. Kasus ini mencuat setelah mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin mengakui adanya aliran dana hasil tindak pidana korupsi ke aktivitas partai politiknya dan dia sendiri telah menyerahkan bukti aliran dana proyek Hambalang tersebut kepada KPK.
Saat ini aturan sistem pembiayaan partai politik oleh negara sendiri masih berbentuk Peraturan Pemerintah dalam hal besaran bantuan partai politik. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018 disebutkan anggaran partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat sebesar Rp. 1.000 per suara, di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi sebesar Rp. 1.200 per suara, dan di Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten/Kota sebesar Rp. 1.500 per suara, sehingga bila ditotal pembiayaan dana untuk partai politik oleh negara adalah sebesar Rp. 111 Miliar. Dengan demikian menurut hemat penulis perlu adanya sebuah Undang-Undang supaya partai politik yang dibiayai oleh negara ini memiliki payung hukum yang lebih tinggi serta menuntut pertanggung jawaban yang juga kuat. Selain meminimalisir potensi kecurangan dan pelanggaran hukum, hal ini pun bisa membuat partai politik lebih fokus pada program pembinaan kader dan menyediakan kader-kader yang amanah, memiliki jiwa kepemimpinan atau leadership serta memiliki integritas yang teruji. Sehingga dengan demikian kriminalitas demokrasi yang terjadi ini bisa berubah menjadi demokrasi yang amanah.
Tujuan adanya perubahan pendanaan partai politik pun secara tidak langsung bisa dimaknai sebagai jalan untuk ‘mengambil alih kepemilikan partai politik ataupun kepemimpinannya’ dari individu atau kelompok pemilik modal yang biasanya menyuntikkan dana ke internal partai politik untuk menguasai demi kepentingan pribadi. Perubahan dana partai politik ini juga idealnya digunakan untuk operasional dan pendidikan kaderisasi dari masing-masing partai politik agar lebih berdikari. Kedepannya kita harus mengubah kriminalitas demokrasi yang sudah sangat membudaya ini menjadi demokrasi yang amanah dan good goverment, sehingga demokrasi di negara Indonesia yang kita cintai ini bisa membawa kemakmuran seperti apa yang diharapkan oleh seluruh rakyat.
Sumber dan referensi:
https://www.kpk.go.id/id/statistik/penindakan/tpk-berdasarkan-profesi-jabatan
Penulis: Wahyu Kusuma
0 komentar: