Awal bulan september kemarin Pemerintah membuat kehebohan dengan memunculkan rencana konversi kompor gas ke kompor induksi yang berbahan bakar listrik. Salah satu alasan yang diangkat adalah soal usaha menurunkan emisi karbon sebagai bagian dari mitigasi perubahan iklim. Lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan perubahan iklim? Perubahan Iklim bisa dipahami sebagai perubahan signifikan terhadap iklim, suhu udara dan pola cuaca dalam jangka panjang. Perubahan iklim terjadi karena meningkatnya konsentrasi gas karbon dioksida dan gas-gas lainnya di atmosfer hingga kemudian menyebabkan efek gas rumah kaca yang memerangkap panas.
Perubahan iklim, saat ini telah menjadi isu global yang menarik perhatian begitu banyak orang. Tentu karena ancamannya diyakini bisa memusnahkan kehidupan manusia di muka Bumi ini. Dan salah satu bukti adanya ancaman tersebut bisa terlihat dari meningkatnya suhu rata-rata Bumi yang terjadi secara signifikan. Tak hanya itu kondisi tersebut pun diikuti juga oleh bencana lain seperti menurunnya kualitas dan kuantitas air, gelombang pasang, longsor, fenomena badai angin dan petir, glombang panas dan kemarau berkepanjangan, hingga hujan ekstrem yang seringkali menyebabkan banjir merata dihampir semua tempat.
Banyak dari kita tentu tahu penyebab utama dari perubahan iklim ini, yaitu karena ulah manusia sendiri lewat aktivitasnya yang menimbulkan efek gas rumah kaca. Terutama akibat penggunaan bahan bakar fosil seperti batu bara, gas alam dan minyak bumi. Tapi ada satu hal yang seringkali luput dari perhatian kita khususnya di Indonesia yaitu deforestasi. Deforestasi sendiri bisa diartikan sebagai proses penghilangan hutan dengan cara penebangan untuk mengambil hasil hutan berupa kayu ataupun mengubah fungsi hutan menjadi fungsi non-hutan.
Berdasarkan data University of Maryland yang diterbitkan oleh Global Forest Watch, beberapa daerah tropis termasuk Indonesia, pada tahun 2019 lalu mengalami kehilangan lahan hutan sekitar 11,9 juta hektar. Hampir sepertiga dari kehilangan tersebut, yaitu 3,8 juta hektar, terjadi di hutan primer tropis lembab yang sangat penting bagi keanekaragaman hayati dan juga penyimpanan karbon. Di Indonesia sendiri angka deforestasi yang terjadi dinilai masih sangat tinggi. Greenpeace Indonesia menyebut dalam waktu 5 tahun saja, angka deforestasi di Indonesia khususnya pada era kepemimpinan Joko Widodo, telah mencapai separuh angka deforestasi selama 12 tahun terakhir. Atau mencapai 2,13 juta hektare yang setara dengan 3,5 kali luas Pulau Bali. Meskipun ada upaya untuk mengurangi deforestasi, kehilangan hutan primer pada tahun 2019 lalu menjadi salah satu penyebab lepasnya sekitar 1,84 gigaton emisi karbon dioksida, atau setara dengan emisi tahunan yang dikeluarkan oleh 400 juta mobil.
Banyak hal yang membuat masalah deforestasi ini terus mengalami peningkatan secara drastis, mulai karena alih fungsi lahan untuk keperluan pemukiman, pertanian, eksplorasi pertambangan, perluasan lahan perkebunan kelapa sawit, hingga karena proyek pembangunan infrastruktur yang diberi label proyek strategis nasional. Diakui atau tidak, pemerintahan hari ini memang cukup ugal-ugalan dalam melakukan deforestasi, bahkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan sendiri pernah mengatakan lewat akun twitternya, "Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi," tulisnya dalam cuitan yang diunggah, pada hari Rabu (3/11/2021).
Pernyataan tersebut sontak menuai kritik keras dari masyarakat. Karena secara tidak langsung kalimat yang digunakan menunjukan jika posisi pemerintah selalu pro terhadap pembangunan berskala besar, terlepas berorientasi pada masalah lingkungan ataupun tidak. Padahal jika dipahami lebih jauh, dampak dari deforestasi ini bukan hanya akan terjadi di masa mendatang saja. Tetapi akan memberikan juga dampak langsung pada masyarakat lewat berbagai bencana alam yang bahkan sudah banyak terjadi disekitar kita hari ini.
Di tengah isu perubahan iklim yang makin kencang, saya berharap jika Indonesia bukan hanya jadi pendorong isu-isu perbubahan iklim ini ke permukaan. Apalagi lewat wacana lucu seperti meminta masyarakat untuk beralih ke kompor listrik atau bahkan mengganti kendaraannya ke kendaraan listrik. Karena selain perlu modal yang tidak sedikit, hal semacam ini pun nyatanya hanya memindahkan masalah dari hilir ke hulu. Pun begitu, dengan posisi Indonesia sebagai Presidensi G20, saya berharap juga jika nantinya Indonesia bisa mengefektifkan gerakan untuk menghentikan deforestasi dan memaksimalkan pemanfaatan energi berkelanjutan. Sudah seharusnya Indonesia menjadi contoh yang menunjukan langsung komitmen mengatasi perubahan iklim tersebut secara nyata.
Meskipun saya pesimis jika pemerintah mau melakukan itu semua, tapi tak ada salahnya untuk terus berharap demi kebaikan. Karena saya pribadi punya keyakinan, dengan melindungi hutan yang masih berdiri dan menghentikan kegiatan deforestasi (solusi berbasis alam) bisa menjadi solusi paling efektif untuk mengatasi perubahan iklim yang sudah terjadi saat ini. Selain karena biayanya lebih murah, solusi ini pun dinilai tidak terlalu rumit atau memerlukan penelitian lanjutan.
Tidak perlu menjadi aktivis seperti Greta Thunberg untuk bicara soal perubahan iklim, tidak perlu juga latah membeli kendaraan listrik agar terlihat peduli pada masalah yang terjadi. Cukup jadi diri sendiri yang menyadari jika bumi kita sedang tidak baik-baik saja. Selama masih ada waktu untuk menghindarkan diri dari bencana iklim yang tidak terpulihkan (irreversible climate disaster). Mari menumbuhkan kesadaran walaupun dimulai dari hal-hal kecil, karena bumi ini milik kita bersama.
Penulis: Kang Dika
0 komentar: